Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk bertakwa dan berinstrospeksi diri. Masing-masing dari kita hendaknya selalu berpikir dan mencermati apa yang telah dipersiapkan untuk akhiratnya kelak. Jika telah berbuat baik dan beramal shalih, maka hendaknya kita memuji Allah SWT atas kemurahan-Nya, dan tetap istiqamah (konsisten) dalam kebaikan itu sepanjang hidup kita. Namun jika kita masih berbuat maksiat, maka hendaknya kita tinggalkan semua maksiat, beristighfar (memohon ampun), dan memperbaiki hati, karena di akhirat kelak tidaklah bermanfaat harta dan keturunan serta apa pun jua kecuali orang-orang yang memasuki kehidupan akhirat dengan hati yang bersih.
Di akhirat kelak, seseorang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hatinya, sebagaimana ia akan dihisab atas apa yang dilakukan oleh seluruh anggota badannya. Oleh karena hati adalah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan sejatinya mencerminkan apa yang ada dalam hati. Jika hati baik, maka anggota badan menjadi baik. Dan jika hati rusak, maka rusaklah anggota badan.
Kita segera berintrospeksi dan bermuhasabah, apakah hati kita sudah bersih dan terhindar dari enam sifat tersebut, ataukah sebaliknya, justru enam sifat yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala tersebut tertanam kuat dan bercokol di hati kita. Na’udzu billahi min dzalik. Ibnu Hibban meriwayatkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: yang artinya
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membenci seseorang yang memiliki enam sifat berikut ini: جَعْظَرِيٍّ Yakni orang yang takabbur atau sombong. Sombong ada dua macam.
1 menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang lain padahal ia tahu bahwa hal itu benar, dikarenakan penyampai kebenaran lebih muda usianya, lebih miskin hartanya, lebih rendah status sosialnya atau karena hal lain. Padahal fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takabburnya. Fir’aun telah melihat sekian banyak mu’jizat Nabi Musa as, namun ia tidak beriman kepada Nabi Musa as. Haman, perdana menteri Fir’aun ketika itu berkata kepada Fir’aun: “Jika engkau beriman kepada Musa, maka engkau akan kembali menjadi hamba yang menyembah, padahal selama ini engkau sudah menjadi tuhan yang disembah.” Demikian pula Bani Isra’il yang diutus kepada mereka Nabi Isa ‘alaihissalam. Setelah mereka melihat mu’jizat Nabi Isa as, tidak ada yang membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabbur mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa jika mereka beriman, maka akan lenyaplah kehormatan dan kekuasaan mereka. Demikian pula Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir Quraisy, setelah mereka melihat mu’jizat al-Qur’an dan mengakui bahwa al-Qur’an tidak seperti puisi dan prosa yang mereka kenal, tidak ada yang membinasakan mereka dan membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabbur mereka.
2 adalah merendahkan orang lain. Seseorang yang memiliki sifat takabbur jenis kedua ini dalam hatinya, ia akan menganggap dirinya memiliki keistimewaan lebih atas orang lain sehingga melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Dia melupakan bahwa itu semua adalah anugerah yang Allah berikan kepadanya. جَوَّاظٍ Yaitu seseorang yang rakus dan gandrung untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan niat yang tidak benar dan didorong kecintaannya yang sangat besar terhadap harta. Ia tidak peduli dari mana harta itu ia peroleh, apakah dari sumber yang halal ataukah haram. Dengan itu, ia bertujuan untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya yang haram dan membanggakan diri di hadapan para hamba yang lain. سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ Artinya orang yang karena kerakusan dan kegandrungannya pada harta, ia memperbanyak omongan dengan tujuan supaya bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ia tidak peduli apakah omongannya halal ataukah haram. جِيفَةٍ بِاللَّيْلِ Menjadi bangkai di malam hari. Yakni menghabiskan seluruh waktu malamnya untuk tidur. Ia tidak peduli untuk melakukan shalat sama sekali. حِمَارٍ بِالنَّهَارِ Menjadi keledai di siang hari. Yakni yang ia pikirkan hanya bagaimana bisa memakan berbagai menu makanan dan banyak menikmati berbagai kemewahan hidup. Dengan sebab itu, ia lalai melakukan hal-hal yang Allah wajibkan kepadanya. Mengetahui perkara dunia namun bodoh mengenai perkara akhirat. Yakni mengetahui bagaimana cara mencari dan mengumpulkan harta, akan tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bagian ilmu agama yang fardlu ‘ain untuk dipelajari, yang disebut para ulama dengan istilah (ilmu agama yang pokok). Padahal Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya ـ: “Mencari ilmu agama yang pokok (ilmu agama yang dasar) hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim (laki-laki dan perempuan),” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang mengingatkan kepada kita semua bahwa kehidupan dunia adalah waktu untuk beramal, dan semua yang kita lakukan di dunia ini akan kita pertanggungjawabkan di akhirat: Maknanya: “Dunia berjalan membelakangi kita, sedangkan akhirat berjalan menghampiri kita. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anaknya. Maka jadilah bagian dari anak-anak akhirat (senantiasa mementingkan kehidupan akhirat) dan janganlah menjadi bagian dari anak-anak dunia (selalu mementingkan kehidupan dunia yang sementara), karena hari ini (kehidupan dunia) adalah waktunya beramal dan tidak ada hisab, sedangkan besok (kehidupan akhirat) adalah waktunya mempertanggungjawabkan amal, dan bukan waktunya beramal,” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari)
SOLIHAN.S.Ag.S.Pd,M.PdI
PAIF Kec.Benowo