Tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Tentu, tidak serta merta pemerintah dan pemangku kebijakan menetapkan tanggal itu sebagai hari yang istimewa untuk para kaum yang identik dengan keindahan itu. Sebagaimana peringatan hari-hari yang lain, tentu banyak hal yang luar biasa atau keistimewaan yang dapat dirasakan oleh semua fihak.
Ibu, sosok sumber kasih sayang, mengasuh dan memberi tanpa batas. Dialah prajurit malam yang selalu berjaga dan terjaga. Menemani ketidakberdayaan kita. Dia yang selalu mendahulukan anaknya dari dirinya sendiri, mencintai tanpa menuntut balas. Bak, matahari yang menyinari bumi tanpa mengharap balas sebesar apapun, walaupun memberi manfaat yang maksimal.
Ibu, sebuah kata yang jujur nan kuat, diucapkan semua makhluk hidup dalam bahasanya masing-masing. Dengan kata ‘ibu’ pada makhluk itu mendapatkan kasih sayang, ketulusan hati, kehangatan, pengorbanan, cinta yang agung, yang dicipta dan ditumbuhkan Allah dalam diri semua ibu terhadap anak-anaknya. Karena itu, Allah SWT berwasiat kepada manusia untuk taat kepadanya, seperti juga Rasul-Nya telah berpesan agar kita senantiasa berbakti kepadanya.
Ada dua kata yang selalu dipakai Al Qur’an untuk menyebutkan ibu : pertama, “Umm” dan yang kedua “Walidah”. Kata “umm”, digunakan Al Qur’an untuk menyebutkan sumber yang baik dan suci untuk hal yang besar dan penting. Maka Makkah Al Mukarramah disebut “Ummul Qura” karena kota ini adalah tempat turunnya risalah yang diberikan Allah SWT kepada Islam, yang merupakan inti ajaran para rasul dan semua risalah.
“Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.” (terj. QS. Al An’am : 92)
Allah juga menyebutkan kata “umm” untuk sesuatu yang menghimpun ilmu-Nya, yaitu pada lafaz “Ummul Kitab”. Allah berfirman yang maknanya :
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar Raad : 39)
Kemudian Al Qur’an membedakan antara kata “umm” dan “walidah”, di mana Allah menyebut “walidah” kepada perempuan yang melahirkan anak, tanpa melihat karakter dan sifatnya yang baik atau yang buruk. Karena ternyata ada juga segelintir ibu yang tega terhadap anaknya. Kata “walidah” digunakan hanya karena adanya proses melahirkan, baik bagi manusia maupun makhluk lain, dengan keadaan-keadaan yang menyertainya; hamil dan menyusui, seperti firman Allah, yang maknanya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. …….” (QS. Al Baqarah : 233)
Ibu yang dibahasakan “walidah” inilah tempat menumpahkan segala bakti, pemuliaan, tanpa membedakan apakah ia baik atau tidak. Allah berfirman yang maknanya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. …..” (QS. Al Isra : 23)
Bahkan meskipun si ibu adalah seorang pelaku maksiat dan kafir.
Adapun “umm”, Al Qur’an menggunakannya untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi sumber kemuliaan, merupakan simbol pengorbanan, penebusan, kesucian, kejernihan, cinta dan kasih sayang. Sumber yang menjadikan seseorang tumbuh menjadi manusia yang terhormat, menemukan kemuliaan dan bangga menisbahkan dirinya kepada ibu yang melahirkannya. Mari kita perhatikan perbedaan itu ketika Isa alaihissalaam bicara soal kewajiban berbakti dan menghormati ibu, dimana Allah SWT berfirman yang maknanya :
“dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam : 32)
Namun ketika Al Qur’an mengisahkan tentang Isa as dan tentang karakter dan sifat ibunya yang mulia, Ia menggunakan kata “umm”. Allah berfirman maknanya :
“Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. …..” (QS. Al Maidah : 75)
Ketika Al Qur’an hendak menarik perhatian anak-anak agar memperhatikan ibu yang telah melahirkannya dengan segala kendala dan kesulitan, Al Qur’an menggunakan kata “umm”. Karena dari ibu, memancarkan cahaya kesabaran dan kemuliaan pada hari kiamat, sehingga kita diperintahkan untuk memuliakannya di dunia dengan pemuliaan yang mutlak dan tanpa batas.
Di sini kita bisa melihat betapa indahnya bahasa Al Qur’an. Ketika ia berpesan kepada kita untuk berbakti kepada orang tua, Al Qur’an menggunakan kata “al walidain”, tapi setelah itu ia menyebut ibu dengan kata “umm” karena keutamaannya lebih di atas ayah. Allah berfirman yang maknanya :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Imam Asy Syarbini, seperti juga dikatakan Syaikh Muhammad bin Amin, “Ibu disebutkan secara khusus karena menanggung beban berat dan banyak dari rasa sakit dan kesulitan dalam melahirkan, menyusui, dan mengasuh.” Ar Razi mengatakan, “Karena itu hak ibu lebih agung.”
Demikian pula, ketika Al Qur’an hendak memberitakan kepada kita dalamnya cinta ibu kepada anak-anaknya, dan besarnya kasih sayang dan kelembutannya kepada mereka, kembali Al Qur;an menyebutnya dengan kata “umm”. Allah berfirman, yang maknanya :
‘Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).“ (QS. Al Qashahs : 10)
Dan ketika Al Qur’an menceritakan betapa bahagianya ibunda Musa setelah bertemu kembali anaknya, Al Qur’an juga menggunakan kata “umm”. Allah berfirman yang maknanya :
“(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. …..” (QS. Thaha : 40)
Ketika menunjukkan kesucian dan kemuliaan para istri Rasulullah SAW, Al Qur’an pun menyebut mereka dengan “al Ummahat”, bukan “al walidat”. Allah berfirman yang maknanya :
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. ….” (QS. Al Ahzab : 6)
Begitulah Al Qur’an bicara soal keutamaan ibu. Dari sini jelaslah bahwa Al Qur’an lafaz-lafaznya kaya makna. Begitu juga amat sangat detail dan penuh makna dalam menjelaskan kepada hambaNya tentang ibu. Agar kita sebagai hambaNya bisa menyelami, memahami siapa sebenarnya ibu, kekeramatan dan keajaibannya yang Allah karuniakan kepada kita.
Wahno Sucipto, Kec. Wiyung Surabaya