Saya memanggilnya mbak Sri dan mbak Eli, mengenal mbak-mbak berdua ini saking seringnya bertemu di area kawatan XII. Beliau berdua bekerja dipercetakan dekat kantor dan ketika saya ngopi dengan teman-teman KUA kami hanya senyum atau kadang ketika membeli makan depan kantor tidak banyak bertegur sapa cukup satu senyuman.
Kenapa sampai saya mengabadikannya karena mereka berdua juga bagian dari marbot Musholla Rachmat yang tidak ada SK nya (baca: tidak ada Surat Keputusan), tapi rajinnya diatas kami yang marbot ter-SK. Seringkali saya dan teman-teman marbot meminta bantuan mereka untuk ikut menjaga kebersihan, mematikan dan menyalakan lampu, membuang sampah dan merawat musholla rahmat, dan dikerjakan tanpa ada sanggahan selalu dengan senyum yang dihadirkan, meskipun ada marbot yang resmi tetapi tugas tersebut dikerjakannya. Dan saat ada sesuatu yang habis atau rusak maka saat kami bertemu langsung dilaporkan, alhamdulillah ada mbak berdua ini meringankan tugas kami yang tidak bisa setiap saat di musholla.
Saya sangat menyukai semangatnya, karena ketika tidak ada Imam di musholla mereka berdua yang menjadi pelecut kami marbot perempuan, “ayo bu icha kami sudah siap”, “ayo bu ely ganti sampean yang ngimami”… maka Ketika waktu dhuhur saya belum sampai musholla dan belum ada kepastian siapa yang menjadi Imamnya, saya sangat merasa bersalah, jadi jika tidak ada Imam maka kami marbot perempuan bergantian dan berkoordinasi siapa yang tercepat sampai di musholla itulah yang menjadi Imam, karena semangat mereka berdua memakmurkan masjid/musholla rachmad yang luar biasa itulah kami terlecut.
Terkadang kita bincang santai mengenai perkembangan harga bahan pokok yang lagi menghits, sambal makan siang Bersama, atau ngebakso depan musholla, kadang soal piknik enaknya bagaimana meski hanya obrolan tipis dan menghalu dan belum terealisasikan, kadang obrolan rumah tangga dan pekerjaan.
Pernah suatu waktu saya tanya seperti ini sampean di gaji berapa mbak, dengan santainya menjawab “67.000 dan uang makan 13.000 mbak’, “apa gak rugi, ataukah impas buat transportnya mbak” saya balik lontarkan pertanyaan, mereka dengan santai membalas “sesuai niat mbak, kalau dihitung rugi saya rugi, tapi dari pada nganggur dan disambi puasa saya bisa bantu keuangan keluarga’ karena anak-anak butuh biaya banyak buat sekolah”. Di sambung lagi ceritanya “dulunya saya tidak bekerja,tapi Ketika anak-anak mulai naik jenjang sekolahnya maka biaya yang dibutuhkan sangat banyak, anak-anak sudah tidak banyak membutuhkan pengasuhan saya karena waktu lebih banyak disekolah dan sudah mandiri,akhirnya saya memutuskan bekerja”
Sangat mulia sekali keinginannya, dan bahkan masih banyak mbak sri dan mbak eli lainnya di luar sana yang berjuang membantu perekonomian keluarga demi anak-anak untuk mengenyam Pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya, agar hal tidak enak yang dialami orang tua tidak di rasakan anak-anaknya.
Sebenarnya dalam Islam, tidak ada larangan bagi wanita bekerja. Ada alasan wanita untuk bekerja salah satunya seperti membantu suami untuk menopang perekonomian keluarga. Dalam Islam juga menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk memenuhi segala keperluan istri dan keluarganya, menyelesaikan segala kepentingan yang ada di luar rumah. Sesuai dengan firman Allah:
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Jika bekerja untuk mencari nafkah merupakan kewajiban seorang suami, namun tidak ada larangan jika wanita ingin bekerja. Wanita harus memenuhi beberapa syarat dan tidak melanggar syariat-syariat Islam. Karena Islam tidak melarang wanita bekerja telah tercantum dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu” (QS. At-Taubah:105)
Artinya di ayat tersebut dijelaskan tidak ada pembeda baik perempuan apa laki-laki yang bekerja, semua boleh untuk bekerja. Sedangkan untuk keadaan mendesak ada beberapa pendapat. Seorang ibu wajib menafkahi anak-anaknya jika ayahnya tidak ada atau suami dalam keadaan susah. Pendapat ini dari mayoritas ulama fiqih seperti ulama Madzhab Hanafi, Madzhab Asy-Syafii, Madzhab Imam Ahmad dan juga Ibnu Al-Mawaz dari Madzhab Maliki.
Allah SWT berfirman:
“Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (istri-istri) dengan cara yang baik, tidaklah seseorang dibebani lebih dari kemampuannya, tidaklah seorang ibu menderita karena anaknya, dan tidaklah seorang ayah menderita karena anaknya. Dan pewaris berkewajiban seperti demikian.” (QS. Al-Baqarah: 233).
Sehingga tidak ada larangan atau keharaman bagi istri untuk menafkahi anak-anak atau keluarganya, hanya saja hal itu kembali pada apakah menjadi wajib sebagaimana pendapat jumhur, ataukah tidak.
Tapi pada kenyataannya, sekalipun menafkahi bukan menjadi kewajiban bagi seorang ibu, dia sebagai orang yang paling dekat dengan keluarga, terutama anak-anaknya, pasti akan berusaha membantu dan memenuhi kebutuhan mereka. Beberapa prasyarat yang perlu dicatat jika istri mau bekerja.
1. Mendapatkan izin dari suami
2. Dalam pekerjaannya tidak melanggar Allah SWT
3. tidak menjadikan kewajibannya pada suami dan anak atau keluarga terbengkalai atau terlantar.
4. Ketika istri sukses jangan sombong.
Segala kebutuhan keluarga untuk memenuhinya diharapkan saling di diskusikan Bersama seperti yang sudah tertuang dalam 4 pilar perkawinan antara lain muasyaroh bil makruf dan musyawarah. Di musyawarahkan mana saja kebutuhan primer, skunder dan lainnya. Termasuk menyantuni kedua orang tua masing-masing. Akan lebih indah seiring sejalan jika dilakukan dan didiskusikan Bersama.
Harus ada strategi dalam pemenuhan kebutuhan keluarga jika menghadapi beberapa masalah dalam keluarga antara lain:
(1) Pembagian peran yang lentur
(2) Bekerja sebagai Tim yang tangguh
(3) Relasi berkualitas antara kepala keluarga dan anggota keluarga
(4) Membongkar ketabuan (baca: saling sungkan bahwa dia lebih diutamakan) dan mengedepankan keterbukaan
(5)membudayakan musyawarah dalam pengambilan keputusan.
Seringkali kita memandang bahwa pemenuhan kebutuhan keluarga bersifat materi saja, padahal disamping yang bersifat materi terdapat pula kebutuhan immateri yakni kebutuhan merasakan kenyamanan dan ketenangan anggota keluarga. Merasa tenang dan dicintai, terlindungi, dijaga, diperhatikan dan dihormati. Kedua kebutuhan tersebut sama pentingnya dalam membangun mahligai rumah tangga yang harmonis, menentramkan hati serta penuh dengan kasih sayang.
Bukankah sudah disebutkan dalam al qur’an:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-rum :21)
Disini telah dijelaskan bahwa Islam mengajarkan pernikahan sebagai sebuahikatan antara dua anak manusia yang memiliki tujuan yang mulia;menciptakan keluarga yang menhadirkan ketentraman (Sakinah), dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) bagi seluruh anggota keluarganya.
**Disadur dari buku bacaan mandiri calon pengantin Fondasi Keluarga Sakinah terbitan Subdit Bina Keluarga Sakinah. Direktorat Bina KUA & keluarga Sakinah. Ditjen Bimas IslamKemenag RI Tahun 2017
Ely Rosyidah
PAIF KUA Kec. Bubutan Kemenag Kota Surabaya