Home Artikel Hakekat Jihad dalam Pandangan Islam

Hakekat Jihad dalam Pandangan Islam

by admin

Jihad dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat penting sekali, karena pada intinya jihad itu merupakan usaha serius yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan  yang diinginkan .Kata jihad terambil dari bahasa  Arab “jahd” yang pada mulanya berarti kesulitan atau kesukaran atau terambil dari kata “juhd” yang berate kemampuan. Tanpa  adanya jihad ajaran Islam tidak akan mungkin eksis di muka bumi ini dan bahkan tanpa adanya jihad atau amar ma’ruf  dunia ini akan mengalami kehancuran.

jihad dalam al-Quran mempunyai tiga arti, yaitu: (1) berjuang melawan musuh nyata, (2) berjuang melawan (memusuhi) syetan, dan (3) berjuang melawan hawa nafsu. Islam adalah agama yang mengajarkan kedamian dan melarang keras segala bentuk kekerasan, dengan demikian term terorisme tidak dikenal dalam ajaran Islam

Sebagian golongan berpandangan permasalahan yang ada di Indonesia hanya akan selesai dengan bermodal jihad. Definisi jihad yang dimaksud adalah berperang secara fisik, baku tembak, hingga meregang nyawa (qital). Itulah yang mereka terus dengungkan selama beberapa dekade terakhir. Seolah tidak ada frasa lain yang lebih sejuk ketimbang jihad. Padahal karakter bangsa Indonesia selalu menghargai dan menghormati satu sama lain tak terkecuali dalam ranah teologi. Bagi mereka, tidak boleh ada yang membantah definisi itu, jika ada, maka dianggap berpotensi meruntuhkan materi propaganda mereka, tidak boleh disenting opinion.

Telaah Hadis: Jihad Melawan Hawa Nafsu

Berangkat dari hadits di bawah ini.

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lantas sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, “jihad (memerangi) hawa nafsu.”

Dalam mengkaji suatu teks, kita tidak boleh bersikap apriori terhadap konteks yang melingkupinya. Jika mengkaji terlebih sumber utama Islam yakni al-Qur’an dan Hadis tidak boleh sepotong-sepotong, apalagi mengutip beberapa bagian tertentu kemudian dijadikan legitimasi/ pembenaran terhadap ideologi atau pendapatnya sendiri, sangat dilarang. Mari kita kaji hadis di atas secara ilmiah.

Hadits di atas memang secara sanad dihukumi lemah (dhaif). Hadits ini diriwayatkan al-Baihaqi dalam az-Zuhd, al-Khathib dalam Tarikh Baghdad, an-Nasa’i dalam al-Kuna. Al-Baihaqi mengatakan, hadza isnadun fihi dhu’fun (sanad ini mengandung kelemahan).

Meskipun dikatakan lemah oleh al-Baihaqi, namun sejatinya tidak ada masalah dalam kontennya. Secara substansi, makna hadits tersebuh shahih. Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Asbabut Takhallush minal Hawa, mengatakan,

الهوى ميل الطبع إلى ما يلائمه

“Hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya.”

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa hawa nafsu diciptakan ada pada diri manusia guna menjaga eksistensi hidupnya. Tanpa nafsu manusia tidak akan dapat hidup, nafsu untuk makan minum, nafsu untuk menikah, nafsu untuk membangun suatu bangunan, dan sebagainya.

Pertanyaannya, mengapa nafsu selalu “dikambinghitamkan” atas hal-hal buruk? Tidak ada yang salah dengan nafsu, yang patut direnungkan adalah seberapa bijak manusia menempatkan nafsunya dengan adil.

Kebanyakan manusia tak mampu mengendalikan hawa nafsu secara proporsional, cenderung melampaui batas (israf). Yang sering terjadi adalah manusia “hanyut” dan hanya membudak pada hawa nafsu, syahwat, dan amarahnya sehingga terperosok dalam jurang kehinaan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah hawa nafsu sering dilabeli dalam konteks tercela.

Coba kita baca hadis berikut ini,

أفضلُ الْمُؤْمِنينَ إسْلاماً مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسانِهِ وَيَدِه وأفْضَلُ المُؤْمِنينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً وأفْضَلُ المُهاجِرِينَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهى اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وأفضلُ الجهادِ منْ جاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذاتِ اللَّهِ عزّ وجَل

Mukmin yang paling utama keislamannya adalah umat Islam yang selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Mukmin paling utama keimanannya adalah yang paling baik perilakunya. Muhajirin paling utama adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. Jihad paling utama adalah jihad melawan nafsu sendiri karena Allah.

Hadis ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi dawud, dan Shahih Ibn Hibban. Hadits “jihad” paling utama adalah melawan nafsu di atas berstatus shahih. Paling tidak dengan merujuk pada kitab yang mencantumkannya, jika sudah mafhum; Shahih Ibn Hibban. Lalu bagaimana penjelasan para ulama terkait hadits di atas?

Pendapat al-Thaibi (w. 743 H). Dalam kitab al-Kasyif ‘an Haqaiq al-Sunan Syarh Misykat al-Mashabih, al-Thaibi mengomentari hadits tersebut dan mengatakan,

يعنى المجاهد ليس من قاتل الكفار فقط، بل المجاهد من حارب نفسه وحملها وأكرهها على طاعة الله تعالى؛ لأن نفس الرجل أشد عداوة معه من الكفار؛ لأن الكفار أبعد منه، ولا يتفق التلاحق والتقابل معهم إلا حينا بعد حين، وأما نفسه فأبدا تلازمه، وتمنعه من الخير والطاعة، ولا شك أن القتال مع العدو الذي يلازم الرجل أهم من القتال مع العدو الذي هو بغيد منه،

“Mujahid bukan orang yang berperang dengan orang-orang kafir musuh saja. Tetapi, mujahid yang sejati adalah orang yang memerangi nafsunya, mendorongnya dan memaksanya agar taat kepada Allah. Hal itu karena nafsu seseorang adalah musuh yang lebih kuat dibanding kaum kafir yang memusuhi. Karena, orang kafir yang memusuhi berada pada posisi yang jauh. Tidak akan bertemu dan berhadapan-hadapan dengan mereka kecuali jika ada kondisi tertentu. Sedang nafsu seseorang, maka ia akan selamanya bertemu dengannya, nafsu akan menghalangi orang melakukan kebaikan dan ketaatan. Tidak diragukan lagi, berperang dengan musuh dekat lebih penting dibanding berperang dengan musuh jauh.” (Al-Kasyif ‘an Haqaiq al-Sunan Syarh Misykat al-Mashabih, Jilid 2, Hal. 491)

Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H) berpendapat dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, tentang man jahada nafsahu,

يَعْنِي بَيَانَ فَضْلِ مَنْ جَاهَدَ وَالْمُرَادُ بِالْمُجَاهَدَةِ كَفُّ النَّفْسِ عَنْ إِرَادَتِهَا مِنَ الشَّغْلِ بِغَيْرِ الْعِبَادَةِ وَبِهَذَا تظهر مُنَاسبَة التَّرْجَمَة لحَدِيث الْبَاب وَقَالَ بن بَطَّالٍ جِهَادُ الْمَرْءِ نَفْسَهُ هُوَ الْجِهَادُ الْأَكْمَلُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَن الْهوى

“Maksudnya bab ini menjelaskan keutamaan orang yang berjihad. Arti berjihad di sini adalah menahan nafsu dari keinginannya melakukan kesibukan selain ibadah. Dengan ini jadi terang kesesuaian judul dalam Shahih al-Bukhari dengan hadis yang dicantumkan di dalamnya. Ibnu Bathal berkata, “Jihadnya seseorang melawan nafsunya adalah jihad paling sempurna. Allah berfirman, “Sedangkan orang yang takut kepada maqam Tuhannya, dan menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsu, sungguh surga akan menjadi tempat tinggalnya..” (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Jilid 11, Hal. 337-338)

Sedangkan al-Munawi (w. 1031 H) dalam kitab Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir mengatakan,

الجهاد من جاهد نفسه في ذات الله عز وجل – فإن مجاهدتها أفضل من جهاد الكفار والمنافقين والفجار لأن الشيء إنما يفضل ويشرف بشرف ثمرته وثمرة مجاهدة النفس الهداية {والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا} وكفى به فضلا وقد أمر الله بمجاهدة النفس فقال: وجاهدوا في الله حق جهاده

Memerangi hawa nafsu lebih utama dibanding memerangi orang-orang kafir, munafik, dan penjahat. Hal itu karena sesuatu dapat menjadi utama dan bernilai tinggi dengan melihat dampaknya. Dampak memerangi nafsu adalah diperolehnya hidayah. Allah berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh menaati kami akan kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju kami”. Dengan pernyataan ayat tersebut, sudah cukup jelas kemuliaan memerangi nafsu. Allah memerintahkan memerangi nafsu, “dan berjuanglah dalam ketaatan kepada Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan”.  (Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid 2, hal. 173)

Sementara itu menurut al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, mengatakan makna mujahid sejatinya adalah,

المجاهد – حقيقة (من جاهد نفسه) على فعل الطاعات ومنها الجهاد في سبيل الله وعلى ترك المنكرات وبالجملة فكل طاعة لا تتم إلا بجهاد النفس.

Hakikat seorang mujahid adalah orang yang berjuang melawan nafsunya agar senantiasa menjalankan segala ketaatan. Di antara ketaatan adalah berjuang di jalan Allah dan meninggalkan kemunkaran. Secara umum, seluruh ketaatan tidak akan sempurna tanpa jihad melawan nafsu. (Al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid 10, hal. 466)

Tentu saja, upaya mengendalikan hawa nafsu ini bukan perkara gampang. Karakter nafsu yang abstrak dan kerap kali memantik kenikmatan dunia menjadikannya sebagai musuh yang sulit untuk ditandingi. Sampai-sampai Rasulullah saw. sendiri mengistilahkan “ikhtiar” pengendalian nafsu ini dengan “jihad”. Di era sekarang, ada baiknya makna “jihad” diaplikasikan dalam qauliyah (perkataan yang mengandung ujaran dan seterusnya diganti dengan perkataan yg menyejukkan),  fi’liyah (perbuatan dari mengetwit kabar hoax, saling fitnah tuduh menuduh hingga menimbulkan pertumpahan darah), dan taqririyah (sikap diam dengan mengklarifikasi/ tabayyun dari setiap permasalahn yang beredar). Saya rasa apabila kita semua menerapkan ketiga hal ini, maka kehidupan kita terasa akan sejuk, damai dan tenang.

 

Asy’ari, S.PdI, MH

(PAIF Kec. Gubeng)

You may also like

Leave a Comment

Follow by Email