src=”https://pokjaluhsurabaya.or.id/wp-content/uploads/2022/03/IMG-20220304-WA0000-262×300.jpg” alt=”” width=”262″ height=”300″ />
Suatu hari Umar bin Khattab yang pada waktu itu menjabat sebagai qadhi (hakim) datang menghadap Khalifah Abu Bakar As-Shiddik. Dengan disaksikan oleh para sahabat yang lain, Umar mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan itu.
Kata Umar, ”Ya Amirul Mukminin Abu Bakar, sudah lama aku memegang jabatan qadhi dalam khilafah ini, namun tidak banyak yang mengadukan hal ihwalnya kepadaku. Karena itu, sekarang aku mengajukan permohonan agar dibebaskan dari jabatan ini.”
Khalifah Abu Bakar dengan nada heran lantas bertanya, ”Mengapa engkau mengajukan permohonan ini? Apakah karena beratnya tugas tersebut, wahai sahabatku Umar?” Umar bin Khattab menjawab, ”Tidak, wahai Amirul Mukminin. Akan tetapi, aku sudah tidak diperlukan lagi menjadi qadhi-nya kaum mukminin.
Mereka semua sudah tahu haknya masing-masing, sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknya. Mereka juga sudah tahu kewajibannya sehingga tidak seorang pun yang merasa perlu menguranginya. Mereka satu sama lain mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
‘Kalau salah seorang tidak hadir,” lanjut Umar bin Khattab, ”Mereka mencarinya. Kalau ada yang sakit mereka menjenguknya, kalau ada yang tidak mampu mereka membantunya, kalau ada yang membutuhkan pertolongan mereka segera menolong, dan kalau ada yang terkena musibah mereka menyampaikan rasa duka cita.
Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar ma’ruf nahi munkar. Karena itulah tidak ada alasan bagi mereka untuk bertengkar.” Kisah tersebut mencerminkan masyarakat yang baik dan pelajaran dalam memperbaiki masyarakat. Ada dua pilar penting yang harus ditegakkan bersama.
Pertama, menjadikan syariat Islam selain sebagai pedoman hidup juga sebagai nasihat, sehingga terbentuk keinginan dan harapan yang baik-baik dalam perasaan individu masyarakat terhadap individu yang lain. Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah saling mencintai dua orang dalam agama kecuali yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling besar cintanya kepada sahabatnya.” (HR Bukhari).
Pilar kedua adalah amar ma’ruf nahi munkar, yang terwujud dalam aktivitas meluruskan perilaku-perilaku yang bengkok dan menaruh jalan yang lurus di tengah jalan-jalan yang bengkok. Sehingga, individu masyarakat sadar akan perilakunya yang salah, dan ketika tampak di hadapan mereka jalan yang lurus, diharapkan mereka kembali dengan penuh kesadaran.
Tidak ada proses perbaikan yang lebih baik daripada proses yang dilalui diri sendiri dengan penuh kesadaran.
Allah SWT berfirman dalam surat Ar Ra’d ; 11
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
Artinya : “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Zamharirotul Fuaidah,
PAIF KECAMATAN WIYUNG
1 comment
Kere… keren… Inspiring… Thanks ustadza…